Day 10 – Jogja – malam habis belanja di sepanjang Malioboro, kaki sudah mulai protes tapi anak masih senang melihat lampu dan keramaian. Saat angin malam mulai terasa dingin, saya cuma kepikiran satu hal: cari wedang ronde jogja. Dari kejauhan terlihat asap tipis mengepul dari panci besar di gerobak sederhana Wedang Ronde Mbah Payem, dan kami langsung melipir. Kursi plastik di tepi jalan, lampu temaram, dan aroma jahe hangat terasa pas banget untuk menutup hari.
Begitu duduk, anak saya langsung tertarik melihat bulatan-bulatan ronde kecil mengapung di kuah jahe. Sementara itu saya mencari posisi paling nyaman di tepi jalan, sambil tetap mengawasi belanjaan dan suasana sekitar. Ini bukan tempat yang “wah”, tapi justru kesederhanaannya yang bikin suasana malam di Jogja terasa lengkap. Dalam hati saya mikir, “Oke, ini kayaknya bakalan jadi penutup malam yang manis tapi tetap ringan.”
Baca Juga : Kuliner Magelang di Borobudur
Lihat Lokasi : Google Maps

Kenapa Saya Memilih Wedang Ronde di Malioboro Malam Itu
Malam di Malioboro itu identik dengan hiruk pikuk: pedagang kaki lima, pengamen, kereta kuda, sampai wisatawan yang lalu-lalang. Di tengah semua itu, saya butuh sesuatu yang simpel: hangat, tidak terlalu berat, dan cocok untuk keluarga. Wedang ronde jadi pilihan paling logis, apalagi untuk anak yang baru saja selesai jalan jauh.
Alasan utama saya datang ke Wedang Ronde Mbah Payem malam itu sederhana:
- Butuh yang hangat tapi ringan – bukan makan besar lagi, karena makan malam sudah, tapi tetap ingin sesuatu yang “menutup hari”.
- Kuah jahe yang katanya cukup hangat dan bisa bantu mengusir rasa dingin setelah jalan kaki di Malioboro.
- Lokasinya di tepi jalan, jadi gampang disinggahi tanpa harus masuk gang atau cari-cari tempat duduk indoor.
- Konsep wedang ronde pinggir jalan seperti ini memang identik dengan Jogja; rasanya sayang kalau sudah di Malioboro tapi tidak mencicipi jajanan hangat khas malamnya.
Buat kamu yang bawa keluarga, terutama anak, wedang ronde seperti ini ideal karena porsinya tidak berlebihan. Anak juga bisa ikut minum kuahnya (kalau kamu minta tingkat jahenya tidak terlalu kuat), sambil makan roti dan bulatan ronde yang lembut.

Pengalaman Makan Wedang Ronde: Dari Pesan sampai Seruput Pertama
Proses Pesan dan Waktu Tunggu
Begitu duduk, saya langsung disapa dengan ramah dan ditanya mau pesan apa. Di sini, semuanya bergerak cukup cepat karena menunya sederhana. Biasanya kamu tinggal sebut:
- Mau ronde biasa atau ada tambahan tertentu
- Mau kuah jahenya “standar” atau minta agak ringan kalau untuk anak
Waktu menunggu pesanan sekitar 5–10 menit, tergantung seberapa ramai. Karena wedangnya sudah dalam panci besar, proses utamanya tinggal meracik isi dan menyiram kuah jahe panas ke mangkuk. Walaupun simpel, tetap terasa ada perhatian di tiap mangkuk yang disiapkan.

Rasa dan Tekstur: Hangat, Lembut, Tidak Berlebihan
Saat mangkuk pertama datang, uap panas langsung naik bersama aroma jahe. Saya biasanya coba seruput kuah dulu sebelum menyentuh isiannya.
Beberapa hal yang saya rasakan:
- Kuah jahe: hangatnya terasa, tapi masih dalam kategori nyaman. Bukan tipe jahe yang “nendang” sampai bikin kaget, lebih ke hangat perlahan yang enak diminum pelan-pelan di malam hari.
- Ronde kecil: teksturnya lembut, tidak terlalu keras. Saat digigit, ada sensasi kenyal tipis yang menyenangkan, lalu diikuti isian kacang yang memberi sedikit tekstur.
- Isi lain dalam mangkuk (umumnya: roti, kolang-kaling, dan teman-temannya): menambah variasi tanpa bikin mangkuk terasa “penuh sesak”. Cocok buat kamu yang mau ngemil manis tapi tidak mau terlalu berat.
Dimakan saat malam hari, dengan lalu-lalang orang di Malioboro dan suara kendaraan sebagai latar belakang, wedang ronde ini terasa seperti jeda kecil yang menenangkan. Anak saya lebih memilih menikmati roti dan ronde kecilnya, sementara saya lebih menikmati kuah jahenya.
Porsi dan Aftertaste
Porsinya menurut saya pas untuk kategori camilan malam:
- Tidak terlalu sedikit sampai merasa “kurang”
- Tidak terlalu banyak sampai bikin kekenyangan (apalagi kalau sebelumnya sudah makan malam)
Aftertaste-nya adalah rasa jahe hangat yang tertinggal tipis di tenggorokan, tanpa rasa manis berlebihan yang mengganggu. Jadi kalau setelahnya kamu masih ingin jalan sedikit atau langsung balik ke penginapan, rasanya tetap nyaman di perut.

Informasi Praktis untuk Kamu yang Mau Mampir
Supaya pengalamanmu makin enak, beberapa hal praktis ini penting untuk diperhatikan:
- Waktu terbaik dan jam ramai
Tempat ini paling ramai sekitar 19.00–22.00, saat orang-orang baru selesai belanja atau jalan malam di Malioboro. Kalau kamu tidak suka keramaian berlebih atau tidak mau nunggu terlalu lama, datang sedikit sebelum jam-jam itu bisa jadi opsi. - Parkir motor/mobil
Karena lokasinya di tepi jalan, soal parkir memang sedikit perlu usaha:- Motor relatif lebih mudah mencari celah parkir di pinggir jalan.
- Mobil biasanya butuh cari spot parkir resmi di sekitar Malioboro, lalu lanjut jalan kaki beberapa menit.
- Lama kunjungan
Rata-rata, saya habiskan waktu sekitar 20–30 menit di lokasi:- 5–10 menit menunggu pesanan
- 15–20 menit menikmati wedang sambil ngobrol dan istirahat setelah keliling
- Sejarah singkat
Untuk detail tepat kapan mulai berdiri, tidak ada informasi resmi yang jelas saat saya datang. Jadi saya memilih menikmati saja sebagai bagian dari kuliner malam Malioboro, tanpa terlalu memikirkan tahun berdirinya.

Ngobrol Singkat dengan Karyawan: 4 Hal yang Saya Tanyakan
Saya selalu suka menyempatkan ngobrol sebentar dengan karyawan atau penjual, karena dari sana biasanya kita dapat insight kecil yang berguna. Kurang lebih ini rangkuman obrolan singkat saya:
- Isi ronde favorit pembeli
Banyak pengunjung suka isi campur: bulatan ronde kecil, kacang, dan potongan roti dalam satu mangkuk. Praktis, jadi tidak perlu pilih satu-satu. - Level jahe bisa disesuaikan?
Mereka bilang, tingkat “pedas” jahenya bisa dibuat lebih ringan kalau untuk anak atau yang tidak terlalu kuat dengan jahe. Tinggal bilang di awal saat pesan. - Tambahan roti gimana?
Beberapa orang suka minta roti agak banyak karena lebih ramah di lidah anak. Di sini, biasanya kamu bisa minta porsi roti agak lebih, selama tetap wajar. - Pembayaran: sudah bisa QRIS?
Saat saya tanya, mereka sudah familiar dengan pembayaran non-tunai, tapi tetap siapkan uang cash kecil untuk berjaga-jaga. Malioboro masih cukup banyak tempat yang mengandalkan uang tunai, jadi membawa keduanya selalu jadi ide bagus.
Dibanding Ronde Pinggir Malioboro Lain: Apa Bedanya?
Di sepanjang area Malioboro, kamu akan menemukan cukup banyak penjual ronde dan wedang jahe lain. Secara jujur, masing-masing punya ciri khas dan penggemarnya sendiri. Kalau dibandingkan secara halus dengan ronde pinggir Malioboro lain, beberapa kesan saya:
- Rasa kuah jahe di sini cenderung seimbang: tidak terlalu ringan, tapi juga bukan tipe yang super kuat sampai bikin kaget.
- Tampilan mangkuk rapi dan isiannya terasa cukup lengkap untuk ukuran jajanan pinggir jalan.
- Suasana di sekitar gerobak dan cara mereka melayani terasa santai dan ramah, membuat nyaman untuk keluarga yang bawa anak.
Bukan soal siapa yang paling “heboh”, tapi lebih ke cocok-cocokan selera. Kalau kamu suka jahe yang terlalu pedas, mungkin ada tempat lain yang jahenya lebih “nendang”. Tapi jika kamu cari wedang ronde yang aman untuk keluarga dan cocok dinikmati pelan-pelan, tempat seperti Mbah Payem ini cukup menjawab.
Tips Kunjungan Biar Makin Nyaman (Apalagi Kalau Bawa Anak)
Supaya pengalamanmu makin enak, ini beberapa tips yang menurut saya membantu:
1. Datang Setelah Belanja, Bukan Sebelum
Wedang ronde paling pas dijadikan penutup malam setelah selesai belanja atau jalan-jalan di Malioboro. Badan sudah sedikit capek, perut tidak terlalu penuh, dan butuh sesuatu yang hangat – kombinasi ideal.
2. Pilih Waktu yang Tidak Terlalu Padat
Kalau kamu datang di puncak keramaian 19.00–22.00, siap-siap saja sedikit menunggu dan duduk lebih rapat dengan pengunjung lain. Kalau ingin lebih santai:
- Datang agak awal sebelum jam 19.00
- Atau datang sedikit lewat dari jam ramai saat mulai agak sepi
3. Sesuaikan Level Jahe untuk Anak
Kalau bawa anak:
- Bilang di awal ingin kuah jahe yang tidak terlalu kuat
- Biarkan anak lebih banyak menikmati roti dan ronde kecilnya, sementara kamu yang menghabiskan kuahnya
Dengan begitu, anak tetap bisa ikut merasakan pengalaman kuliner malam, tanpa harus “berjuang” dengan jahe yang terlalu pedas.
4. Siapkan Tunai Kecil
Meskipun mulai banyak yang menerima pembayaran non-tunai, di area seperti Malioboro, uang cash kecil tetap sangat kepakai. Selain memudahkan, kamu juga tidak perlu khawatir sinyal atau alat pembayaran bermasalah di jam ramai.
5. Nikmati Suasana, Bukan Cuma Isi Mangkok
Salah satu hal yang bikin wedang ronde di Malioboro terasa spesial adalah suasanya:
- Lampu jalan dan keramaian malam
- Musik dan suara pengamen dari kejauhan
- Orang-orang yang lalu-lalang dengan kantong belanja di tangan
Jadi, jangan buru-buru habiskan wedangnya. Santai saja, ajak keluarga ngobrol, dan biarkan momen kecil ini terekam sebagai bagian dari kenangan perjalananmu di Jogja.
Jadi, Layak Gak Sih Wedang Ronde Mbah Payem Masuk List Kuliner Malam Jogja?
Kalau kamu cari penutup malam yang hangat, ringan, dan ramah keluarga setelah seharian menyusuri Malioboro, menurut saya Wedang Ronde Mbah Payem ini LAYAK banget masuk ke dalam list kuliner malammu.
Tiga hal yang paling menempel di kepala saya:
- Hangat – Kuah jahe yang nyaman di tenggorokan, pas untuk malam Jogja yang mulai dingin.
- Ringan – Cocok sebagai camilan penutup hari, bukan makan berat yang bikin terlalu kenyang.
- Keluarga – Anak tetap bisa ikut menikmati isiannya, terutama roti dan ronde kecilnya, sambil duduk santai di tepi jalan.
Buat kamu yang sedang merencanakan malam di Malioboro, wedang ronde seperti ini bisa jadi jeda kecil yang sederhana, tapi justru di situ letak istimewanya. Tidak perlu tempat mewah untuk menutup hari; kadang, satu mangkuk minuman hangat di tepi jalan sudah cukup untuk membuatmu merasa, “Ini memang Jogja yang saya cari.”



